Judul: Jakarta
Sebelum Pagi
Penulis:
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit:
Grasindo
Tebal
Buku: 280 halaman
Tahun Baca:
2020
My
Ratings: 4.5⭐
Blurb:
“Jam tiga dini hari, sweater, dan
jalanan yang gelap dan sepi … Ada peta, petunjuk; dan Jakarta menjadi tempat
yang belum pernah kami datangi sebelumnya.”
Mawar,
hyacinth biru, dan melati. Dibawa
balon perak, tiga bunga ini diantar setiap hari ke balkon apartemen Emina.
Tanpa pengirim, tanpa pesan; hanya kemungkinan ada stalker mencurigakan yang tahu alamat tempat tinggalnya.
Ketika–tanpa
rasa takut–Emina mencoba menelusuri jejak sang stalker, pencariannya mengantarkan dirinya kepada gadis kecil
misterius di toko bunga, kamar apartemen sebelah tanpa suara, dan setumpuk
surat cinta berisi kisah yang terlewat di hadapan bangunan-bangunan tua Kota Jakarta.
Review:
Saya
nggak heran kenapa buku ini bisa menyandang gelar, Karya Fiksi Terbaik Indonesia 2016 Versi Majalah Rolling Stone. Walaupun
saya ketinggalan banget karena baru baca buku ini di tahun 2020, tapi saya
merasa cukup bangga karena berkesempatan dapat membaca buku ini. (Lebih baik terlambat daripada tidak sama
sekali kan?)
Habisnya,
sang penulis sendiri, yaitu kak Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie menuliskan
dengan cara berkisah yang unik. Saya kira, itu nama samaran apa gimana soalnya
panjang banget, hohoho. Dan ternyata bukan dong, itu nama aslinya kak Ziggy
ternyata (dan saya baru tahu).
Tapi,
nama Kak Ziggy tidak terlalu mengherankan saya jika itu nama asli seseorang. Malahan
nama tokoh fiksi Dumbledore-lah yang pertama kali membuat saya heran (emang, ini emang nama kepala sekolah
Hogwarts itu, loh). Yaitu, Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore!

Tunggu, tunggu,
Kok jadi ngelantur gini, sih?!
Oke, lanjut...
Pertama,
saya akan membahas tokoh Emina (iya, ini
nama orang kok, bukannya nama merk kosmetik) di dalam buku ini. Nama
panjangnya Emina Nivalis, si tokoh utama sekaligus pembawa cerita karena semua diambil
melalui sudut pandangnya. Dia sosok yang easy
going, lucu sekaligus konyol disaat yang bersamaan, dan juga superunik.
Tidak jarang dia membuat saya tertawa ngakak atas semua tingkah dan
pemikirannya yang tak biasa.
…..
Tapi, tumbuh besar di
keluargaku berarti harus menguasai cara komunikasi alternatif. Sementara itu,
Datuk sudah malas menggerakkan bibir sejak 1813, jadi aku sudah fasih
mengartikan geraman dan dengusannya sejak lahir.
…..
Contohnya aja saat di awal cerita,
dia mendiskripsikan kehidupan masyarakat kelas pekerja di Jakarta seperti hewan
yang sering dijadikan sasaran kesinisan manusia, yaitu babi. Emina bisa mendapatkan
ide itu dari buku yang habis dia baca omong-omong, judulnya Animal Farm karya George Orwell−yang dia
pinjam dari rumah Pak Meneer.
Dimulai dari dia yang menggambarkan
Nissa−teman kantornya−sebagai yan pi (kulit
dim sum yang terbuat dari daging babi
yang dipukul-pukul dan dicampur dengan tepung, lalu ditipiskan dan di jemur) karena
aktivitas rutin temannya itu naik kereta saat berangkat kerja−yang berarti
seperti ditipiskan karena desakan-desakan manusia didalamnya. Lalu dijemur
dibawah terik dan panasnya matahari Ibu Kota, dan jadilah dia menjuluki
temannya sebagai Nissa-the-Yan-Pi. Tidak
berhenti disitu, Emina sendiri menamai dirinya sebagai babi asap (karena dia
tidak ikut berdesakan di kereta dan hanya dijemur di bawah terik matahari).
KURANG ANEH GIMANA COBA?! (Saya aja harus mikir dulu sebelum ngerti
jalan pikiran dia).
Jakarta
Sebelum Pagi bercerita
tentang Emina, wanita kantoran yang hidup di tengah keramaian Ibu Kota dengan
hidup (yang menurut saya sedikit
menyedihkan karena dia selalu saja mengharapkan makanan gratisan dan mungkin
juga sedikit kesepian sebelum si stalkernya ketahuan) mandiri.
Orangtuanya sudah meninggal, dan
keluarga yang dia punya hanyalah Datuk, sang Nenek, dan Nin (adik perempuan
dari Datuknya). Ketiga orang tua itu hidup di dalam satu rumah yang dia sebut
sebagai “Rumah Para Jompo”. Tiap kali Emina berkunjung pada akhir pekan, dia
selalu menyempatkan diri untuk juga berkunjung ke rumah Pak Meneer yang-ternyata-bukan-Pak-Meneer,
yaitu sosok kakek-kakek bule kece yang juga termasuk Geng Para Jompo−tetangga
di sebelah rumah mereka.
…..
Dulu,
aku lebih sering memanjat dinding untuk berpindah rumah. Tapi, setelah merusak
bunga-bungaan Pak Meneer, akses dinding dicabut, dan aku harus keluar masuk
lewat pagar layaknya manusia terhormat.
…..
Lalu, keanehan dimulai saat ada
yang mengiriminya bunga hyacinth,
melati, dan mawar dengan balon perak yang diterbangkan dari bawah ke balkon
apartemennya sejak minggu sebelumnya. Temannya−Nissa, mengatakan itu adalah
sebuah perilaku penguntitan a.k.a yang dilakukan oleh seorang stalker.
Maka, mulailah dia dengan melakukan
penyelidikan yang membawa Emina berkenalan dengan gadis cilik keturunan
Jepang-Arab yang bernama Suki−adik dari pemilik toko bunga di depan menara
apartemennya.
…..
Aku
menemukan Suki dibalik food case, seperti biasa. Dia tampak kaget, tapi
bibirnya tetap menutup rapat. Kenapa sih dia nggak jerit-jerit seperti anak
kecil pada umumnya? Mungkin anak SD zaman sekarang memang jaim seperti ini. Nggak
asyik. Waktu aku SD, keterkejutan dideskripsikan dengan cara kayang atau roll
depan.
…..
HAHAHA! Kalau gitu, untuk yang kedua saya
akan mulai membahas tokoh Suki. Omong-omong soal Suki, saya suka tipe bocah
kayak dia yang tergolong pintar, cekatan, dan memiliki pemikiran seperti layaknya
orang dewasa (meskipun sebenarnya agak
menyebalkan), yang memiliki ketertarikan terhadap teh dan upacara minum teh
khas Jepang−dan ternyata bocah itu adalah antek-antek si stalker.
Dan sosok Suki ini jadi
mengingatkan saya dengan karakter Margo di Despicable Me, atau mungkin Lyanna
Mormont di GOT, atau bahkan Wednesday Addams!
Oke, oke, meski si Suki tidak
se-mengerikan dia, tapi saya selalu teringat karakter-karakter itu setiap
membaca perwatakan Suki, hehehe. :D
Udah yuk, lanjut…
Dari si Suki, Emina kemudian
berkenalan dengan Abel−yang ternyata adalah cucu dari Pak Meneer yang-ternyata-bukan-Pak-Meneer,
yang mempunyai fobia terhadap suara dan sentuhan.
Sebenarnya waktu baca pada bagian
itu, saya memiliki pemikiran dan pertanyaan yang sama dengan Emina yaitu, ‘Kenapa dia punya fobia yang aneh-aneh,
sih?’
Tapi kemudian pertanyaan itu terjawab karena ternyata oh ternyata, Abel dulunya adalah anak korban perang saudara di Aljazair (kalau yang ini beneran menyedihkan sih).
Hubungan yang aneh pun
terjalin karena mereka memutuskan untuk menyelidiki surat-surat yang selalu dia
temukan di bagian belakang buku kakeknya−pak Meneer. Dengan menjelajahi kota
Jakarta masa kini, mereka selalu pergi ke tempat-tempat itu pada dini hari
(karena pada waktu itu, Jakarta tidak seramai waktu siang jadinya agak aman buat Abel) yang
mereka sebut dengan Midnight Excursion.
…..
“Kamu
tahu nggak, trotoar itu diambil dari bahasa Prancis−trottoir?”
“Dan
kamu tahu nggak, ‘pedagang kaki lima’ disebut begitu karena trotoar seharusnya
dibangun selebar lima kaki?” kataku, nggak mau kalah. Aku tahu cerita itu dari
dosen, dan kuklarifikasi ke Pak Meneer (yang ternyata bukan Pak Meneer).
…..
Hingga semua petunjuk di setiap surat yang ditemukan itu membawa mereka untuk mengetahui rahasia besar Pak Meneer yang selama ini tersimpan dirumahnya. Dan Emina tahu alasan kenapa Pak Meneer selama ini selalu menyuruhnya untuk membaca buku dari perpustakaan miliknya.
…..
“Dia bilang, ini diambil dari buku
karangan Philippa Pearce.”
Pak Meneer memandang Suki dan
tampak terkesan. “Kamu sudah baca itu?” Lalu, dia merengut ke arahku. “Saya sudah menyuruh kamu baca itu.”
…..
Buat yang ketiga, tokoh Abel, Abel
Fergani−si-pengidap-fobia-aneh-aneh.
Menurut saya porsinya pas di buku ini dan tidak terkesan dilebih-lebihkan oleh
penulis. Jadi sosok Abel ini nggak kelihatan lebay, walau dia punya trauma level kronik begitu. Tidak seperti tokoh
lain yang kalian temukan di cerita-cerita fiksi pada umumnya.
Nah, apa yang terjadi selanjutnya?
Jeng!
Jeng!
Jeng!
Silahkan baca sendiri bukunya!
Dijamin bakal kesemsem sama ceritanya!
Tapi, ending dari cerita ini nggantung
dan meninggalkan banyak pertanyaan yang masih bersarang di kepala saya. Terus,
banyak terdapat percakapan dalam bahasa Inggris yang saya yakin membuat orang
awam pasti mikir keras buat paham maksudnya. Walaupun saya juga tahu, disitu
letak seninya.
Overall, SAYA SUKA SAMA BUKU INI!
Dari segi penyampaiannya, plotnya, dan karakternya semuanya benar-benar, WOW!
Sosok Emina dengan segala macam
ke-babi-annya (note: ini bukan sebuah umpatan!). Suki dengan segala
ke-jaim-annya sebagai bocah SD yang bahkan belum menginjak usia ABG. Dan Abel
yang, ehem… saya sedikit sulit buat mendeskripsikan sosoknya, tapi saya sukaaa!
Udah ah, saya kira review kali ini
udah cukup panjang. Jadi nggak perlu saya tambahin lagi biar nggak tambah panjang-panjang.


















0 komentar:
Posting Komentar