Satu minggu lebih setelah kecelakaan yang menimpaku. Aku kembali lagi dalam lingkungan sekolah setelah melewati masa pemulihan. Meskipun rasa nyeri masih bersarang di tubuhku, aku berusaha untuk terlihat senormal mungkin didepan ayah dan ibu. Aku telah membuat mereka meninggalkan pekerjaan mereka akhir-akhir ini karena mereka lebih memilih untuk merawatku daripada harus meninggalkanku sendirian dalam melewati masa kritis.
Aku merasa sangat berdosa karena telah membuat mereka
bekerja dua kali lebih banyak hanya untuk menjagaku. Ibuku, dia begitu halus
dan lembut, walau terkadang sikapnya yang disiplin harus dia tunjukkan karena
aku yang kadang suka menentang seluruh perhatian yang dia berikan padaku. aku tetap menyayanginya. Ayahku,
yang sering memiliki perbedaan pendapat denganku, tidak begitu menunjukkan
sikap kerasnya lagi saat ini. Tapi tetap saja, walau tanpa kemiripan dasar
antara sifat kami, wajahku telah mencerminkan dirinya sampai tingkat tertentu
karena dia ayah biologisku.
Pagi ini dia mengantarku untuk kembali bersekolah
setelah cuti sakitku. Kulihat sorot ketidak yakinan masih terpancar di wajah
tuanya. Kuberikan seulas senyuman untuk meyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Sebenarnya
alasanku kembali sekolah secepat ini bukan hanya semata-mata agar bisa kembali
beraktivitas seperti biasanya, melainkan untuk segera menemui lelaki itu lagi. Apa
dia masih disana? Kuharap begitu.
Saat berjalan memasuki area sekolah, banyak pasang mata
memandangku dengan tatapan yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka menyapaku
dan kubalas dengan sebuah anggukan. Di depan kelas, aku sudah disambut dengan
semangat oleh teman-temanku yang menurutku superheboh dan sangat berisik seperti biasanya.
“Ya ampun, temenku masih hidup!”
Begitulah kira-kira sambutan yang kudapatkan saat
memasuki kelas. Walaupun kebanyakan dari mereka adalah manusia paling aneh dan
superjayus yang pernah kutemui. Aku tetap menyayangi seluruh temanku yang
begitu peduli satu sama lain.
Selama pelajaran berlangsung, pikiranku melayang pada
lelaki yang dua minggu lalu telah menjadi teman obrolanku. Kuharap dia masih
berada disana meskipun setelah ketiadaanku yang cukup lama itu bisa membuatnya
pergi. Sebelum memutuskan untuk menemuinya, aku harus menolak ajakan
teman-temanku yang memaksa untuk ikut ke kantin. Tapi itu semua sudah berhasil
kulewati karena nyatanya sekarang aku berada disini. Aku menyukai tempat ini
karena sangat jauh dari keramaian para siswa sekolah. Sebelum kedatangan sosok
itu yang notabenya adalah murid baru, aku sering menggunakannya untuk membaca
buku yang kubawa dari rumah sendirian.
Aku mengedarkan pandangan kesekeliling berharap orang
yang telah menemani jam-jam istirahatku dua minggu lalu akan berada disini. Seorang
murid pindahan dari sekolah luar yang telah menjadi teman baruku. Lelaki pendiam
itu biasanya menghabiskan jam istirahatnya hanya untuk tidur siang atau kadang
membicarakan buku yang pernah kami baca.
Hingga akhirnya, aku menemukannya. Disana, di
pojok rooftop yang terdapat sofa usang tempat kami biasa berbagi tempat duduk. Dia
memandangku, mata hitamnya berbinar redup menatap mataku lurus.
Aku berjalan mendekatinya dan mengambil duduk di sampingnya.
Dalam genggamannya terdapat sebuah buku, aku memperhatikan. Walaupun kami
sudah beberapa kali membicarakan buku-buku bersama, tak pernah sekalipun
sebelumnya hingga hari ini dia membawa buku kemari bersamanya.
“Radio
Silence?” tanyaku melihat judul buku yang tengah di pegangnya.
Dia melemparkan senyuman tipis kearahku sambil
mengangkat buku itu.
“Untukmu.”
Ucapnya lalu menaruhnya di tanganku. Aku mengernyitkan dahi kearahnya tidak
mengerti.
“Hadiah
dariku atas kesembuhanmu. Maaf karena aku sudah membuka pembungkusnya,
seharusnya tidak kulakukan.” Katanya terus terang.
Aku melihatnya tidak percaya. Kenapa dia sampai
merepotkan diri hanya untuk meberiku ini. Tetapi senang rasanya bisa melihatnya
tampak manusiawi saat didepanku. Dia tersenyum dan kadang tertwa tertahan saat
bertukar pendapat yang kadang menurutnya lucu.
“Terima
kasih. Aku akan segera membacanya setelah menyelesaikan bukuku yang lain.”
Dia masih tersenyum lalu mengangguk sebagai jawaban. Di
sisa waktu ini, kami berbincang dimulai dari aku yang menanyakan alasan dia pindah
kesini. Karena sebelumnya aku belum berani menanyakan itu padanya. Dan dia
bilang, ibunya selalu memiliki alasan untuk membawanya pergi akhir-akhir ini. Aku
tidak tahu apa masalahnya karena dia tidak menceritakannya, dan aku tahu jika
meminta penjelasan lebih darinya itu berarti sangat tidak sopan karena telah
menyangkut urusan pribadi keluarganya. Hingga saat dia menatap jam
dipergelangan tangannya, perbincangan kami pun berakhir.
“Ku
kira kita harus pergi. Terima kasih telah menemaniku disini, sampai jumpa.”
Dia menepuk sebelah pundakku sebelum beranjak dari
tempat duduknya dan meninggalkanku yang masih terdiam di sofa usang ini. Selang
beberapa saat, aku juga bergegas turun menuju kelas sambil membawa buku yang
diberikannya padaku tadi. Dia yang dikenal banyak orang karena keterdiamannya
terhadap siapapun, mau berbagi pikiran denganku bahkan menunjukkan ekspresi
berbeda saat bersamaku. Tanpa sadar aku tersenyum saat mengingatnya.
…..
Sehari berlalu setelah pertemuan kembaliku dengannya
kemarin, kurasa semuanya berjalan normal seperti sebelumnya. Tetapi ada yang
aneh dengan sikapnya hari ini. Dia tidak terlihat di rooftop saat jam istirahat
tadi. Aku merasa dia malah menghindariku. Entah apa penyebabnya, yang jelas
saat akan bersimpangan denganku di jalan, dia malah memilih berputar arah dan
berpura-pura tidak melihatku.
Dan sekarang ini aku tengah mendapati sosoknya yang
sedang duduk di bangku bawah pohon dekat lapangan basket. Sekali-kali pandangan
kami bertemu. Aku heran, apa dia marah padaku? padahal kurasa tidak ada yang
salah dengan pertemuan kami waktu itu. Malahan dia terlihat menimakti
perbincangan kami. Saat aku melihatnya lagi, dia malah mengunci mataku dari
kejauhan saat pandangan kami bertemu tanpa perlu melirik kanan kiri.
Hari demi hari berlalu, dan aku berniat untuk mempertanyakan
ada apa dengan sikapnya itu. Tetapi hari ini dia tidak terlihat sama sekali. Bahkan
saat aku menunggu di tempat favoritnya, dia tidak ada.
Apa dia sakit?
Apa dia marah padaku?
Semua pertanyaan itu terus bersarang di kepalaku
hingga rasanya membuatku pusing. Entah sudah berapa hari dia menghilang. Aku hanya
bisa mendesah lelah.
Aku kembali mengunjungi tempat favorit kami. Duduk
diatas sofa usang yang sering kududuki bersamanya sambil membawa buku yang
diberikannya padaku beberapa hari lalu. Kubuka lembar demi lembar buku yang
kubaca sampai akhirnya terdapat secarik kertas yang terselip didalamnya. Aku membaca
kalimat yang ditulis dengan tinta hitam itu. Seluruh tubuhku membeku. Tanpa sengaja
aku melepas kertas itu dari tanganku.
“Hei,
beberapa hari ini aku harus membantu menyelesaikan permasalahan ibuku. Dan aku
akan ikut pindah lagi bersamanya. Maaf ya? Aku suka padamu.”
-Rangga















0 komentar:
Posting Komentar