Judul: The Number You Are Trying to Reach is Not
Reachable
Penulis: Adara Kirana
Penerbit: Bukune
Tebal Buku: 298 halaman
Tahun Baca: 2019
My Ratings: 4.0⭐
Blurb:
Kata orang-orang, aku ini genius dan kelewat serius.
Oke, memang koleksi piala dan medali olimpiadeku
sedikit lebih banyak dari jumlah perempuan yang dilirik Zeus. Aku masih seusia
anak kelas sepuluh, tapi sudah ikut beberapa try out dan SBMPTN, dan dapat nilai paling tinggi.
Namun, Kak Zahra−guru homeschooling-ku menganggapku perlu bersosialisasi. Katanya, biar
“nyambung” sama orang-orang.
Untuk apa? Aku punya temen kok: Mama, Kak Zahra, Hera,
dan… saudara-saudara yang sering kulupa namanya.
Review:
HAH! Bombastis abis pokoknya! Saya baru tahu buku ini
sekitar awal tahun 2019 lalu kayaknya (kalau enggak salah ingat). Dan sampai
sekarang pun terkadang saya masih suka baca ulang kalau mulai kangen sama sosok
Aira dan kisahnya yang cenderung aneh dan ajaib. Iya, fokus cerita memang tertuju
sama Aira, si genius yang enggak bisa bersosialisasi dengan baik karena dia
kelewat pintar dan dari kecil sudah terbiasa belajar di rumah karena dia memang
homeschooling (itu juga salah satu
alasan karena dia enggak cocok sama orang-orang disekitarnya), dan sudut
pandangnya pun juga diambil dari si Aira ini.
Pokoknya, saya suka banget sama cara kak Adara yang
mengangkat permasalahan yang terjadi pada beberapa remaja sekarang yang
diwakilkan oleh sosok Aira dalam cerita ini, yaitu kurang bisa bersosialisasi.
Saya merasa ada kemiripan antara tokoh Aira dengan diri saya sendiri (walaupun
saya tidak se-genius dan seambis dia)
dalam hal bersosialisasi di sekitar.
Mamanya, guru homeschooling-nya,
bahkan saudari tirinya pun bilang kalau sosialisasi itu penting. Seperti yang
dibilang sama Kak Zahra, guru homeschooling-nya,
“…
Percuma kalau kamu pintar, tapi kamu enggak bisa bersosialisasi dengan baik.”
Dan juga, “… Dunia ini luas dan kakak yakin kaki kamu
enggak mungkin melangkah di sini-sini aja. Kamu pasti bakal melangkah jauh.
Satu teman saja enggak cukup buat dunia yang luas ini, Aira.”
Singkat cerita, Aira akhirnya mau masuk sekolah resmi agar
dia bisa mengikuti olimpiade yang hadiahnya buku The Thirteen Books of Euclid’s Elements hasil terjemahan Thomas
Heath (buku aslinya ditulis oleh matematikawan Yunani bernama Euklides di awal
abad ke-3 SM) yang dia idam-idamkan. Tapi selama dia masuk SMA, ternyata ada
hal lain yang enggak bisa dia pelajari dan dapatkan dari buku-buku tebalnya
itu. Aira punya beberapa teman, bisa belajar merelakan sesuatu demi sahabatnya,
dan menjalin hubungan dengan seseorang yang disebut pacaran.
Dari judulnya aja saya sudah curiga pasti ada sesuatu
yang berhubungan dengan panggilan. Dan ternyata, itu merujuk pada sosok Arka
(guru kelas tambahan di sekolahnya, yang pastinya bukan guru resmi karena dia
masih kuliah dan magang disitu). Si Arka ini naksir duluan sama Aira, karena
baginya Aira itu seperti nomor yang sulit diraih. Pembicaraan mereka pun juga
awalnya dari salah sambung gara-gara Aira salah pencet nomor gurunya itu. Tapi
mereka malah keterusan ngobrol dan senang membahas beberapa buku klasik
bersama.
…..
“Kamu inget kan, saya
pernah bilang kamu itu kayak mawar oranye? Ingat artinya apa? Rasa antusias dan
semangat. Saya lihat itu ada di dalam diri kamu, Aira. Pakai itu buat angkat
panggilan orang-orang.”
…..
Saya sempet galau berhari-hari karena baca buku ini.
Satu-satunya hal yang enggak terelakan buat saya yaitu kisah Aira dan Arka yang
malah enggak bisa bareng. Arka mulai menghindar karena dia perlu banyak waktu
buat netralin perasaan dia ke Aira. Dan Aira merasa dia telah kehilanggan sosok
Arka sebagai temen ngobrolnya sekaligus orang pertama yang enggak nganggep dia
aneh karena ke-geniusannya itu.
…..
“Enggak bakal ada novel
Dickens lagi? Sidney Carton?”
Arka tersenyum sambil
menatapku. “Saya bakal terus keinget sama kamu setiap lihat A Tale of Two
Cities, Aira. Dan sebelum setiap novel saya ada wajah kamu, lebih baik berhenti
disini, kan?”
…..
ARGHHHHH!!! Udah ah, daripada nyesek sendiri, saya akhirnya
bisa nerima tuh takdir mereka berdua walau masih sedikit tidak terelakan. Dalam
buku ini, banyak banget pesan moral yang bakal kita dapet walau dikemas dalam
cerita remaja. Bahwa setiap perubahan itu tidak selalu menakutkan, iya sih
perubahan memang menakutkan. Tapi, itu adalah bagian dari hidup−bagian dari
tumbuh besar. Perubahan juga dapat menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Dan
sekarang, Aira juga sudah mau mengangkat panggilan orang-orang karena dia tahu
bahwa menyamakan setiap orang yang dia temui itu adalah sebuah kesalahan besar.
…..
Aku melupakan kata-kata
Plato, “Be kind for everyone you meet, is fighting a hard battle.”
…..
Dibalik kekaguman saya sama buku ini, ada hal yang
sangat menganggu saya dalam menelusuri setiap ceritanya. Cara Aira
mendeskripsikan dirinya sendiri yang selalu dipandang aneh itu ditegaskan
secara berulang-ulang, dan saya enggak suka itu. Banyak pernyataan ‘aneh’ yang
keluar dari mulut Aira dan itu membuat saya muak. Iya, saya tahu kalau dia
ingin pembaca tahu bahwa sosok Aira itu si genius aneh. Tetapi jika itu disebut
secara terus-terusan, malah kesannya sangat berlebihan dan tidak menarik lagi buat
saya. L
Ugah gih, buruan kalian pada baca buku ini! Ada bahasa
gaul juga yang bakal diajarin sama bapak guru Rio, wkwkwk. Babay!
















0 komentar:
Posting Komentar